Jadikan
Menulis sebagai tradisi retorika mahasiswa
By: Andi
Balong
Teriakan-teriakan
perjuangan dari mereka seringkali terdengar dan menggema memecahkan kesunyian
saat penindasan terjadi. Atas nama rakyat yang mereka kumandangkan.
Mereka pun rela turun ke jalan demi mencari perhatian kepada orang-orang yang
seharusnya memperhatikan nasib rakyat (pemerintah). Retorika yang sungguh
agitatif menjadi penghangat suasana aksi. Ya mereka adalah sekumpulan orang
yang berpredikat mahasiswa. Mereka adalah kaum intelektual muda dan calon
pemimpin untuk perubahan. Memang akan sangat banyak kata yang harus dikumpulkan
dan disajikan untuk mendeskripsikan kaum ini, tapi pada kesempatan ini penulis
akan mencoba sedikit menyibak salah satu budaya yang masih belum begitu
diminati oleh kebanyakan mahasiswa ; budaya menulis.
Seringkali kita dengar
bahwasanya mahasiswa adalah orang-orang yang mempunyai nalar kritis yang luar
biasa. Sejarahpun mencatat bahwa gerakan-gerakan mahasiswa mampu menjadi
pelopor dalam setiap aksi membela rakyat, bahkan salah satu rezim otoritarian
pernah berhasil diruntuhkan oleh gerakan mahasiswa. Di Indonesia memang
mahasiswa mempunyai peran yang signifikan. Mahasiswa menjadi penyambung lidah
bagi rakyat-rakyat yang termarjinalkan. Selain peran akademik, mahasiswa juga
mempunyai peran moral, sosial dan juga politik yang harus senantiasa dilakukan.
Dari semua itu pantaslah predikat “calon pemimpin bangsa” disematkan kepada
mereka.
Sebagai calon pemimpin
patutlah harus memliki kemampuan-kemampuan yang mumpuni. Retorika-retorika yang
sering kali diteriakan bisa menjadi salah satunya. Namun itu tidak cukup. Ada
hal yang juga harus menjadi standar kemampuan para mahasiswa selain kepandain
dan kemampuan mereka dalam berbicara yakni menulis. Memang tidak seperti
aksi-aksi demonstrasi, menulis masih menjadi suatu kegiatan yang miskin
peminatnya. Kegiatan menulis tidak terlalu membumi dikalangan mahasiswa. Adapun
menulis menjadi suatu pilihan terpaksa bilamana ada tugas-tugas kuliah yang
mesti dikerjakan. Itupun belum jaminan mahasiswa akan menulis, karena sekarang
ini dengan merebaknya serangan teknologi semacam internet, tidak sedikit dari
mahasiswa yang lebih memilih jalan instan, semuanya cukup dengan copy-paste .
Orang yang pandai
“bicara” ternyata tidak melulu berbanding lurus dengan kemampuannya dalam
menulis. Setidaknya ini menjadi pengalaman pribadi penulis ketika bertemu
dengan beberapa kawan mahasiswa yang sering banyak orang menyebut mereka
sebagai aktivis. Ketika dihadapkan dengan dunia tulis menulis ternyata cukup banyak
dari kawan-kawan yang penulis temui malah menjadi gagap tidak selancar saat dia
berbicara (atau mungkin lebih tepatnya berteriak) saat melakukan aksi. Padahal
akan menjadi suatu sinergitas yang hebat bilamana kemampuan lisan dipadukan
dengan kemampuan lewat tulisan.
Mengapa Harus Menulis ?
Banyak faktor yang
menyebabkan banyak mahasiswa tidak suka dengan menulis. Salah satunya yaitu
phobia menulis. Tidak jarang mahasiswa merasa khawatir bila nanti
tulisan-tulisan yang dibuatnya dinilai jelek oleh pembacanya. Itu sama sekali
bukanlah masalah yang besar. Semuanya butuh proses, tinggal bagaimana kemauan
dari mahasiswanya itu sendiri. Jadi sebenarnya mahasiswa tidaklah perlu merasa
phobia dengan dunia tulis-menulis.
Selain ke-phobiaan
tersebut memang kegiatan menulis masih dianggap tidak begitu penting.
Menulis hanyalah kegiatan yang terjadi didalam kelas ataupun saat ada
tugas-tugas kuliah, tidak lebih. Padahal sejatinya menulis tidak hanya itu-itu
saja. Menulis bukan kegiatan yang hanya melatih tangan untuk bekerja, namun
akan ada perpaduan antara otak, pikiran dan hati yang saling berkesinambungan. Ada banyak alasan
mengapa mahasiswa harus mau menulis. Diantaranya dari tulisan-tulisan yang
telah dibuat biasanya akan dapat merepresentasikan bagaiaman pola pikir dari si
penulisnya. Apa wacana yang dibawa oleh si penulis terlihat dari bentuk-bentuk
tulisannya sehingga menunjukan wawasan dan dinamika yang dimiliki si penulis.
Dengan menulis kita
sebenarnya bisa mengembangkan apa yang ada dalam benak dan hati kita yang
kemudian dituangkan dalam media dengan rangkaian kata-kata. Diksi yang diambil
tak perlulah berat namun tetap harus informatif. Karena menulis memang bukan
ajang gaya-gayaan agar terlihat intelek. Menulis bisa menjadi media penyalur
aspirasi atau luapan perasaan si penulis dengan begitu orang lain bisa menjadi
tahu apa yang ada dalam persaan kita. Marahkah, senang, atau sedih karena sakit
hati. Kegiatan
menulis sejatinya adalah tradisi intelektual bagi mahasiswa. Karena dengan
membiasakan diri untuk menulis akan sangat baik untuk melatih daya ingat.
Menulis adalah berguna untuk mengikat wawasan dan ilmu yang kita dapatkan agar
tidak lepas begitu saja. Lebih sering kita menulis akan lebih banyak ilmu dan
wawasan yang kita ikat.
Menulis juga ibarat
sedang mengukir sejarah. Bisa jadi apa yang telah kita tuangkan dalam tulisan
akan menjadi bukti sejarah. Suatu hari nanti para penerus kita menemukan
tulisan-tulisan yang telah kita buat dan dijadikan referensi dalam menatap
jejak kejadian-kejadian yang terjadi dimasa lalu dalam tulisan kita. Tulisan
membuat kita akan dikenang oleh zaman dan juga bisa bisa mewariskan cita-cita
dan perjuangan kita kepada generasi penerus. Sungguh luar biasa bukan ? ini
sama sekali tidak hiperbolis karena sejarah juga telah membuktikan hal demikian
bisa terjadi. Tengoklah semisal catatan harian seorang tokoh revolusi, Ernesto
Guevara. Dari catatan-catatan yang ditulisnya kita sang pembaca dibawa ke masa
dari dia saat melakukan petualangannya berkeliling Amerika Selatan sampai dengan
bagaimana akhirnya dia melakukan perjuangan dalam menyebarkan semangat
revolusi. Dia adalah salah satu contoh seorang pemimpin yang menjadikan
kegiatan menulis sebagai budaya. Banyak tokoh-tokoh pemimpin inspiratif di
dunia melakukan hal yang sama, termasuk salah satunya bapak pendiri bangsa
kita, Soekarno.
Para mahasiswa tentu
kenal dengan Soe Hok Gie, dia sangat bisa menjadi inspirasi yang telah
memberikan contoh bahwa menulis sejatinya adalah bersifat membebaskan. Seperti
tulisan-tulisan Ernesto Guevara, catatan hariannya pun kini menjadi literatur
sejarah dan menjadi saksi bagaimana kesuraman dimasa lalu. Atau seperti Tan
Malaka dan Pramoedya Ananta Tour yang menjadikan tulisan-tulisan mereka sebagai
bentuk perlawanan. Tulisan-tulisan itu bak menjadi senjata yang ampuh untuk
membuka mata hati para pembacanya. Itulah hebatnya tulisan. Ada satu kejadian
menarik yang pernah dialami oleh penulis. Ketika dikelas, seorang dosen
bertanya tentang suatu hal yang terkait dengan mata kuliah namun tak ada satu-pun
yang mampu menjawab. Pada akhirnya sang dosen tersebut menyuruh para
mahasiswa-nya untuk menulis jawabannya di selembar kertas saja. Ternyata pasca
suruhan tersebut, walau hanya untuk satu pertanyaan saja para mahasiswa
menuliskan jawaban dikertasnya masing-masing dengan jawaban yang bisa dikatakan
panjang, sekitar hampir satu halaman kertas terisi. Penulis berpikir ini
terjadi karena memang tidak semua kata bisa diucapkan, maka dengan lewat
menulislah bisa dijadikan alternatif saat terjadi kebisuan lisan menimpa kita.
Menulis itu Mudah
Menulis itu tidaklah
sesulit yang sebagian orang bayangkan. Ketika ada orang yang berkata “saya
tidak bisa menulis” itu adalah kesalahan pertama yang menjadikan dirinya
semakin tidak mau untuk menulis. Selama dirinya masih bisa bertutur (ngobrol)
tentu menulis pun pasti bisa, karena menulis itu sendiri tak ubahnya bertutur.
Memang ada beberapa hal yang seringkali dijadikan kendala dalam menulis seperti
adanya aturan ejaan yang disempurnakan (EYD) yang sering kita temukan dalam
gaya penulisan ilmiah, namun sebenarnya itu bukanlah suatu masalah yang
besar karena menulis itu sendiri adalah bersifat pembelajaran. Lewat kita
belajar dan berproses untuk bisa menulis dengan sendirinya kita akan menemukan
bahan pembelajaran bagi tulisan-tulisan yang kita buat. Dari yang mungkin
asalnya acak-acakan karena lama-kelamaan menjadi terbiasa akhirnya mampu
memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut dan tulisan yang kita ciptakan
semakin hari menjadi semakin baik.
Sebagai seorang calon
pemimpin sikap kritis adalah suatu keharusan. Maka sebenarnya jika ada alasan
tidak bisa menulis karena sedang tidak ada ide itu sama sekali bukan alasan
yang bisa diterima. Mengapa begitu ? Jelas karena sebenarnya stok pengetahuan
(stock of knowledge) yang mendasari kita menulis sama sekali tidak terbatas.
Stok pengetahuan bisa berasal dari mana saja, semisal buku-buku, internet,
cerita teman, diskusi-diskusi, berita yang tersaji lewat televisi atau koran
dan hal lainnya. Yang jelas kebekuan ide tidak perlulah terjadi karena sekali
lagi stok pengetahuan yang bisa dijadikan sumber gagasan sangatlah berlimpah.
Mahasiswa sebagai
mahluk kritis yang dihadapkan dengan stok pengetahuan yang berlimpah bisa
menjadi modal dalam membudayakan kegiatan menulis. Setelah tersaji stok
pengetahuan yang tanpa batas tinggal bagaimana para mahasiswa menyikapinya.
Rasa malas bukan lagi menjadi alasan. Kita harus bisa menaklukan rasa malas dan
memotivasi diri sendiri untuk berani menulis. Apa jalannya ? Ada satu
rekomendasi dari penulis yang bisa dijadikan cara yang baik untuk bisa rajin
menulis ; Jadilah komentator !
Setiap hari akan
banyak kejadian dan informasi yang diberitakan lewat televisi atau koran.
Komentarilah berita tersebut dengan tulisan. Tak perlu harus kritik karena bisa
saja kita memposisikan diri menjadi pihak yang pro dalam berita tersebut. Tak
perlu juga harus berpanjang-panjang ria asalkan tulisan kita berbobot dan
bermakna maka cukuplah. Namun tetap menjadi hal yang penting untuk menjadi
sebuah tulisan yang menarik adalah tulisan yang dibuat harus didasarkan atas
keberpihakan sikap si penulis terhadap suatu realitas yang ada. Jangan memilih
dalam posisi netral, karena kenetralan dalam tulisan akan menjadi bermakna bias
dan memudarkan isi dalam tulisan tersebut.
Bayangkan kita bisa
menjadi penulis produktif hanya dengan langkah kecil berupa menjadi
komentator saja. Bila menulis sudah menjadi kegiatan sehari-hari maka salah
satu modal sebagai calon pemimpin bangsa kita sudah miliki. Menarik bukan ?
Mari Menulis !
Dari paparan diatas
menjadi jelas bahwa sekarang tak ada alasan lagi untuk tidak menulis karena
menulis sudah menjadi suatu keharusan. Mari membudayakan menulis dalam
kehidupan kita, jadikan ini sebagai tradisi mahasiswa si calon pemimpin bangsa.
Ada banyak media yang bisa dijadikan tempat publikasi tulisan-tulisan kita.
Saat ini teknologi berkembang pesat, taruh saja tulisan kita dalam fasilitas
note di akun facebook kita atau yang sudah menjadi life style banyak orang
semacam blog pribadi. Dengan begitu sebenarnya kita bisa lebih independen dan
leluasa dalam menulis.
Mari membuat tulisan
serenyah mungkin agar bisa menjadi daya tarik bagi orang lain untuk menikmati
sajian dalam menu tulisan kita, tak perlu khawatir lagi tentang tulisan yang
kita buat, justru dengan adanya feedback dari pembaca akan semakin mengasah
keterampilan kita dalam menulis. Semakin sering menulis, maka keterampilan kita
dalam mengolah stok pengetahuan itu akan semakin baik, semisal dalam pemilihan
diksi sampai penyusunan kata untuk memperindah kalimat dan paragraf. Apalagi
yang mendapat feedback adalah ke kontens (isi) tulisan yang kita buat. Ini akan
menjadi motivasi dan prestasi tersendiri. Kita akan bertemu dengan pro-kontra
yang akan menghangatkan tulisan kita. Ini akan menjadi diskusi yang bermanfaat
karena dari diskusi dialogis yang terjadi antara si penulis dan pembaca akan
menumbuhkan ide-ide baru yang bisa lebih inovatif. Kegiatan feedback semacam
ini juga adalah ranah dalam melihat konsistensi sikap si penulis ketika diserbu
oleh cercaran pertanyaan karena bagaiamanapun tulisan yang menarik adalah harus
representasi dari sikap si penulis (keberpihakan).
Dipenghujung tulisan ini, sekali
lagi penulis mengingatkan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin kepandaian
beretorika tidaklah cukup, harus ada sinergi dengan kemampuan dalam menulis.
Menulis itu sama sekali tidak sulit, asal ada kemauan dan motivasi untuk
menulis, itu saja. Akhir kata sebagai penutup dari penulis, ada satu ajakan
untuk semua mahasiswa diseluruh penjuru negeri ini, “Mari jadikan menulis
sebagai tradisi mahasiswa !”
0 komentar:
Posting Komentar