Perempuan dalam Balutan Patriarkisme
Oleh: Andi Amin
Apa
sih gender itu? banyak yang kita mungkin belum mengerti benar ataupun malah
nggak tau apa itu gender. Bahkan ada yang salah kaprah menganggap gender itu
makhluk yang tidak perlu ada karena banyak merugikan pihak tertentu. Gender
itu berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti jenis atau tipe. Gender
adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan
yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Kalau begitu antara gender
dengan seks sama dong ? Pertanyaan itu sering muncul dari pengertian kata asli
dari genus atau gender itu sendiri.
Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender itu sendiri
adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah
dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu
tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat
sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh
Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan
menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan
melahirkan serta menyusui dan menopause.
Dalam hal gender ini terkadang ajaran agama berikut
penafsirannya kerap dituding sebagai sumber pelanggengan penindasan gender. Hal
ini tidak bisa dielakkan mengingat tafsir ajaran agama yang berkembang sampai
di era saat ini lebih banyak didominasi tafsir tekstual daripada kontekstual.
Penggunaan tafsir yang hanya berbasis “apa yang dibicarakan” teks tanpa mau
mempertimbangkan “apa yang dimaksudkan” teks, secara nyata memang banyak
mengakibatkan adanya diskriminasi peran perempuan baik dalam ruang domestik
terutama di ruang publik.
Perempuan memiliki kesempatan yang sempit dalam mengembangkan
dirinya sejajar dengan laki-laki. Di samping karena tekanan budaya patriarki
yang dilestarikan, adat yang dihormati, juga karena adanya keyakinan bahwa
dalam ajaran Islam, perempuan merupakan makhluk nomor dua. Kedudukannya
berada di bawah laki-laki, bukan sejajar. Padahal dalam teks keagamaan
yang bersumber dari al-Qur’an maupun al-Hadits terdapat teks-teks dan sejumlah
pernyataan tentang kaum perempuan yang sejajar dengan kaum laki-laki,
memperoleh hak-hak yang sama untuk terlibat dalam perjuangan sosial-politik.
Ini bisa dilihat dalam QS Al-Ahzab 53, QS An Nahl 97, Al Hujurat 13.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak
menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka
masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang
percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu
kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang
benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri
Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci
bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah
dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah.
Artinay : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ada pula hadits nabi yang berbunyi: “An Nisa syaqaiq Ar
Rijal”, kaum perempuan adalah saudara kandung laki-laki, “tidak
menghargai/menghormati kaum perempuan kecuali mereka yang memiliki pribadi
terhormat dan tidak merendahkan kaum perempuan kecuali orang-orang yang berjiwa
rendah” (Muhammad, 2004).
Kitab-kitab kuning sebagai karya para ulama klasik (kutub al
turats al qadimah) dipandang sebagai interpretasi ulama atas sumber utama
Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Ia mempunyai otoritas keagamaan yang
tinggi dalam memandu sekaligus membentuk tingkah laku keseharian masyarakat
muslim pada umumnya. Harus dijelaskan bahwa Islam hadir di tengah-tengah
masyarakat Arab yang sarat dengan tradisi dan budaya diskriminatif serta
memarjinalkan kaum perempuan. Tradisi waktu itu memandang perempuan sebagai
makhluk kelas dua dan direndahkan, tidak berharga, serta tidak punya hak
apa-apa atas hidup mereka, karena haknya
dipegang sepenuhnya oleh kaum lelaki. Bahkan, sebagian di antaranya menganggap perempuan
adalah pembawa malapetaka dan memalukan sehingga harus dimusnahkan. Al-Quran
menyatakan:
“Ketika salah
seorang di antara mereka diberi kabar gembira mengenai kelahiran seorang bayi
perempuan, maka wajahnya berubah menjadi kelam seraya menahan marah penuh
kebencian. Ia menghindari teman-temannya karena
keburukan kabar tersebut (dan menimbang-nimbang) apakah anak itu akan
terus dipelihara dengan menanggung kehinaan atau apakah ia akan dibenamkan ke
dalam tanah. Sungguh, teramat jahat keputusan mereka itu” (QS An
Nahl/16:57-59).
0 komentar:
Posting Komentar